Akibat perjanjian Renville yang menyatakan bahwa wilayah Republik Indonesia hanya terdiri dari Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah dan sedikit Jawa Timur, maka Divisi Siliwangi yang berbasis gerilya di Jawa Barat harus pergi meninggalkan basis nya dan pergi ke daerah Republik mematuhi perintah Presiden Soekarno selaku Panglima Tertinggi TRI. Berat hati para prajurit melakukan hal yang sulit ini, karena mereka harus disingkirkan dari kampung halaman nya bukan karena kalah berperang dengan Belanda tetapi oleh dikalahkan oleh para politisi yang kalah berunding dengan Belanda dalam kapal USS Renville. Bulan Februari 1948 dengan kereta api dan kapal laut (embarkasi Cirebon) mereka diangkut tanpa membawa senjata yang dikirimkan terpisah untuk menghindari bentrokan (kekhawatiran dari pihak Belanda) ke daerah Gombong (yang berkereta api) dan ke Rembang (yang memakai kapal laut) untuk selanjutnya di sebarkan ke daerah Solo, Yogyakarta dan Magelang dan ditetapkan sebagai pasukan cadangan. Tetapi ada pula sebagian yang pergi berjalan kaki menuju ke sana. Itulah yang dinamakan "Hijrah" yang konon istilah itu dipilih Bung Karno seperti kisah hijrah nya Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah, "mengalah untuk menang" lebih kurang seperti itu lah!.
Tentara Siliwangi tidak disediakan asrama selayaknya tentara, tetapi ditempatkan di bekas pabri-pabrik gula yang banyak terdapat disana. Keadaan lingkungan yang berbeda dengan daerah asalnya , sedikit banyak berpengaruh pada sikap sehari-hari mereka, tetapi itu semua tidak dijadikan sebuah penghalang , karena sekali lagi kedatangan mereka adalah untuk mematuhi perintah para pemimpinnya untuk menegakan proklamasi kemerdekaan yang sedang diusik kembali oleh Belanda.
Pada bulan Juli 1948, saat itu terjadi kekisruhan politik yang disebabkan oleh jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin oleh PNI dan Masyumi untuk kemudian dibentuk lah kabinet Hatta. Amir Syarifuddin yang tidak puas kemudian menjadi oposisi dengan menggandeng tokoh komunis Muso yang baru kembali dari Rusia setelah kabur karena pemberontakan PKI tahun 1926. Mereka meleburkan Partai-partai berhaluan Komunis dan Sosialis seperti PKI, Pesindo, SOBSI dll kedalam Front Demokrasi Rakyat (FDR). Agitasi mereka ke berbagai golongan rakyat termasuk ke dalam militer sangat intens, padahal disisi lain pada jaman itu setiap partai politik memiliki laskar bersenjata masing-masing. Perang opini dan saling tuduh sebagai antek penjajah masing - masing dilontarkan oleh para politikus di surat kabar dan radio, antara golongan republiken dengan kaum komunis/sosialis. Saat itu di kota Solo , ada beberapa batalyon tentara dari Brigade Panembahan Senopati yang sudah masuk kedalam perangkap FDR, juga batalyon dari ALRI pimpinan Yadau . Muso cs yang memperhitungkan bahwa Siliwangi akan menjadi pengacau rencana mereka dalam mengadakan coup terhadap Soekarno melakukan hasutan bahwa Siliwangi disingkat SLW adalah akronim dari Stoot Leger Wilhelmina (Tentara Pemukul Wilhelmina /Ratu Belanda) sehingga bencilah rakyat setempat kepada Siliwangi. Memang kala itu hampir kebanyakan perwira dan prajurit dari Siliwangi fasih berbahasa Belanda , karena mereka memang terbiasa memakainya sewaktu di Jawa Barat, tetapi hal itu pun dijadikan sebagai alat fitnah yang menguatkan "gelar" sindiran tersebut. Bermula dari hilangnya 4 orang perwira Panembahan Senopati yang menuduh bahwa Siliwangi lah pelakunya yang membuat tentara dari Solo mulai melakukan manuver provokasi kepada Siliwangi, sesuai dengan rencana Komunis bahwa Solo akan dijadikan daerah yang kacau (Wild West), akhirnya terjadi juga bentrokan antara batalyon 1 Rukman dari Brigade Sadikin dengan pasukan lokal tanggal 24 Agustus 1948 di Tasikmadu Solo, kekuatan 4 batalyon dari pasukan lokal melawan 1 batalyon Siliwangi dengan hasil akhir 7 orang pihak penyerang tewas di tempat dan belasan luka-luka sedangkan batalyon Rukman aman tanpa jatuh korban. Mayor Slamet Riyadi sebagai komandan dari Brigade Panembahan Senopati memberikan ultimatum kepada Letkol Sadikin dari Siliwangi untuk segera menyerahkan perwira-perwiranya yang hilang itu, sadikin karena merasa tidak ada anak buahnya yang melakukan berkeras untuk tidak mematuhi ultimatum tersebut, sampai-sampai Panglima Besar Jenderal soedirman turun tangan mendamaikan dua anak bangsa yang sedang bertikai itu. Ketika kebuntuan perundingan terjadi, Panglima berkata, "Slamet Riyadi anak saya!' yang dijawab Letkol Sadikin; "Saya anak siapa?". Kebuntuan itu mengakibatkan keadaan memanas dengan terjadinya penyanderaan kendaraan Siliwangi di jalan-jalan kota Solo yang dibalas serupa oleh Siliwangi dengan penyanderaan dan penggeledahan samapai ke garasi-garasi terhadap kendaraan Senopati. Keadaan seperti itu diperparah dengan penyerbuan markas Staf Kwartier Brigade Sadikin oleh tentara Solo yang saat itu hanya dijaga 2 kompi pasukan pimpinan Kapten Oking. Letkol Sadikin meradang, kelakuan mereka harus dihentikan, seolah membangunkan singa yang tidur, selanjutnya berita kawat diberikan kepada brigade-brigade Siliwangi di Yogya dan Magelang untuk siap tempur. Langkah awal adalah menberikan tugas kepada kompi Lukas dan Oking masuk kota Solo secara gerilya melewati jalan-jalan kecil untuk melucuti pasukan Senopati yang terlihat. Dalam beberapa jam batalyon-batalyon Siliwangi telah mengepung dan menguasai Solo dari berbagai jurusan. Pasukan Panembahan Senopati lari tunggang langgang ke luar kota. Kejadian "tragis" terjadi pada diri Kapten Oking yang harus kehilangan tangan kanan nya akibat granat yang meledak persis di samping nya.
Keadaan ini memprihatinkan Petinggi militer di Yogyakarta, sehingga Jenderal Soedirman datang langsung ke rumah dinas Letkol Sadikin di Solo untuk menghentikan kisruh ini, jawaban tegas diberikan lagi oleh Sadikin, "kami diserang duluan, terserah pihak penyerang maunya seperti apa?" Jenderal Soedirman akhirnya memanggil Kolonel AH Nasution mantan Panglima Siliwangi yang saat itu telah menjadi wakil panglima besar Soedirman ke markasnya untuk mengeluarkan Siliwangi dari Solo, Nasution yang saat itu datang dengan Letkol Abimanyu, mengatakan, bahwa hal gampang mengeluarkan Siliwangi dari Solo, mereka tinggal ramai-ramai kembali ke Jawa Barat yang artinya itu melanggar renville yang pada akhirnya seakan memberi kesempatan untuk melakukan agresi nya dengan dalih ada pasukan republik yang melanggar garis demarkasi, Panglima akhirnya menuruti saran itu dan menyerukan perdamaian. Akhirnya diangkat Kolonel Gatot Subroto sebagai Panglima Komandemen daerah Solo untuk memulihkan keadaan.
Sebelum benar-benar pulih keadaan di Solo, tanggal 18 September 1948 Muso cs mengumumkan pemberontakan PKI di Madiun untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno-Hatta dan membentuk Pemerintahan Komunis Indonesia Sovyet. Panglima besar Soedirman yang kala itu jatuh sakit menyerahkan kepala operasi kepada Kolonel AH Nasution yang kemudian memerintahkan Siliwangi untuk memadamkan pemberontakan itu. Dibantu oleh beberapa batalyon dari dari Jawa Timur yang bergerak dari arah timur, pasukan Siliwangi dari Brigade Sadikin mulai bergerak melakukan pengejaran dari Solo menuju arah Madiun, Brigade Kusno Utomo dari arah selatan. Deadline untuk membereskan pemberontakan di berikan oleh Nasution selama 14 hari, tetapi hanya kurang dari seminggu daerah-daerah yang telah dikuasai Komunis dapat direbut kembali. Akhirnya Muso dapat ditembak mati dan pimpinan lainnya seperti Amir Syarifuddin dapat ditangkap untuk kemudian dihukum mati sesaat sebelum Yogya jatuh kepada Belanda dalam agresinya yang ke 2 , Desember 1948.
Dengan dalih yang dibuat-buat, Belanda melancarkan agresinya pada tanggal 19 Desember 1948 ke Yogyakarta dan menahan Soekarno-Hatta, Panglima besar Soedirman dan TRI memilih untuk bergerilya dan memerintahkan kepada Siliwangi untuk kembali ke kantong-kantong gerilya nya di Jawa Barat, sebuah keputusan yang di sambut suka cita sekaligus was-was karena terbayang sebuah perjalanan panjang yang akan banyak rintangannya, tetapi Maung-maung Siliwangi tidak pernah kenal takut dan menyerah baik itu melawan rintangan alam maupun hadangan agresor Belanda. Suatu penetrasi jarak jauh secara besar-besaran menuju daerah kekuasaan lawan dengan berjalan kaki secara gerilya melewati kampung-kampung, gunung, sungai dan lembah sejauh lebih kurang 700 km!
Pengorbanan yang besar dan tidak dapat di ukur dengan apapun juga saat ini, karena selain Belanda ternyata di Jawa Barat telah ada pasukan DI/TII pimpinan SM Kartosuwiryo yang ingin mendirikan negara Islam yang menghadang Siliwangi. Penyerangan , penjebakan sampai peracunan mereka lakukan karena DI/TII menganggap Siliwangi adalah pasukan liar yang harus ditindak. Melengkapi perjuangan mereka untuk tegak berdirinya RI adalah menghadapi rakyat yang sudah terhasut oleh agitasi DI/TII.
Siliwangi selalu berada di barisan depan pembela NKRI , terlepas dari anggapan bahwa Siliwangi selalu dijadikan alat oleh para pemimpin bangsa untuk melawan separator, tetapi tetap bahwa Maung-maung Siliwangi adalah satu dari bagian perjalanan sejarah bangsa ini dan disegani lawan-lawannya. SATU HILANG DUA TERBILANG!
Senin, 06 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
terimakasih untuk tulisan ini, semoga penulis semakin semangat untuk berkarya
ada beberapa hal perlu dikritisi, bahwa tdk ada pemberontakan di Madiun 1948.Hal ini ditulis Jend Soedirman(Majalah Tempo) bahwa ada ketidakpuasan Tentara kepada Pusat akibat Kebijakan Hatta(setelah Kabinet Amir Cs jatuh Hatta naik) yang menurunkan pangkat Tentara lulusan PETA 5 tingkat, dan bayangkan yang pangkatnya kapten jd Bintara, yg Bintara jd dipecat!! ini membuat kegaduhan di Tentara. sdgkn lulusan KNIL, bekas Militer Belanda tidak diberlakukan, sya mau tnya yg banyak berjuang di lapangan adalah rakyat+lulusan PETA bukan LUlusan sekolah Belanda.
Posting Komentar